“Sudah beberapa bulan kami menjalankan usaha lewat toko online, dua
toko yang kami buat, namun belum juga mendapatkan hasil yang memuaskan”,
begitulah kira-kira curhat seorang sahabat. Solusi yang disarankan oleh
si penerima curhat yaitu menyuruhnya untuk bersabar dan ia pun
menghiburnya dengan perkataan, “Satu kesulitan mustahil mengalahkan dua kemudahan.”
Kata-kata ini membuat si pendengar semakin percaya diri. Ia begitu
yakin bahwa Allah pasti akan memberinya kemudahan dan pertolongan.
Betul Sekali, Satu Kesulitan Mustahil Mengalahkan Dua Kemudahan
Para pembaca pasti sudah seringkali mendengar ayat berikut,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)
Ayat ini pun diulang setelah itu,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6).
Kita sering mendengar ayat ini, namun kadang hati ini lalai, sehingga
tidak betul-betul merenungkannya. Atau mungkin kita pun belum
memahaminya. Padahal jika ayat tersebut betul-betul direnungkan sungguh
luar biasa faedah yang dapat kita petik. Jika kita benar-benar
mentadabburi ayat di atas, sungguh berbagai kesempitan akan terasa
ringan dan semakin mudah kita pikul. Marilah kita coba merenungkan
bagaimanakah tanggapan para pakar tafsir mengenai ayat di atas.
Para pakar tafsir menerangkan bahwa kesulitan yang disebutkan dalam
ayat di atas hanyalah satu karena ia menggunakan isim ma’rifah (sesuatu
yang sudah tertentu), maksudnya kesulitan pertama sama dengan kesulitan
kedua. Sedangkan kemudahan dalam ayat tersebut adalah dua karena ia
menggunakan isim nakiroh (sesuatu yang penunjukannya belum tertentu),
maksudnya kemudahan pertama dan kedua itu berbeda. Jadinya, kesulitan
yang ada itu hanya satu, sedangkan kemudahan itu dua.[1]
Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa ketika turun surat Alam Nasyroh ayat 5-6, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أبْشِرُوا أتاكُمُ اليُسْرُ، لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Kabarkanlah bahwa akan datang pada kalian kemudahan. Karena satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”
Perkataan yang sama disampaikan oleh Qotadah. Qotadah mengatakan, “Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi kabar gembira pada para sahabatnya dengan ayat di atas, lalu beliau mengatakan,
لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”[2]
Sahabat mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
pernah berkata, “Seandainya kesulitan masuk ke dalam suatu lubang, maka
kemudahan pun akan mengikutinya karena Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”[3]
Ibnul Mubarok berkata dalam “Al Jihad” bahwa ‘Umar bin Al
Khottob pernah menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah yang baru tiba di Syam
dan dihadang oleh musuh kala itu. Isi tulisan ‘Umar adalah, “Amma ba’du,
tidaklah Allah menurunkan kesulitan pada seorang mukmin melainkan
setelah itu Allah akan datangkan kegembiraan padanya. Karena ingatlah, satu kesulitan mustahil mengalahkan dua kemudahan.” Kemudian dalam surat tersebut ‘Umar menyebutkan ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron: 200)[4]
Berbagai riwayat di atas, semuanya menerangkan maksud yang sama yaitu
di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Itulah maksud dari
perkataan “satu kesulitan mustahil mengalahkan dua kemudahan”. Kemudahan akan terus mengikuti kesulitan dalam keadaan sesulit apa pun. Allah Ta’ala berfirman,
سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7). Ibnu Katsir mengatakan, “Janji Allah itu pasti, tidak mungkin Allah menyelisihinya.”[5]
Yakinlah bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan yang
begitu dekat. Mujahid mengatakan, “Kemudahan akan senantiasa mengikuti
kesulitan.”[6]
Tawakkal Jadi Sebab Utama Keluar dari Kesempitan
Di awal-awal kesulitan, kadang belum datang pertolongan atau jalan
keluar. Namun ketika kesulitan semakin memuncak, semakin di ujung
tanduk, maka setelah itu datanglah kemudahan. Mengapa demikian? Karena
di puncak kesulitan, hati sudah begitu pasrah. Hati pun menyerahkan
seluruhnya pada Allah, Rabb tempat bergantung segala urusan. Itulah
hakekat tawakkal. Tawakkal dengan bersandarnya hati pada Allah-lah,
itulah sebab semakin mudahnya mendapatkan jalan keluar dari kesulitan
yang ada.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Jika kesempitan
itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka seorang hamba jadi
putus asa. Demikianlah keadaan hamba ketika tidak bisa keluar dari
kesulitan. Ketika itu, ia pun menggantungkan hatinya pada Allah semata.
Akhirnya, ia pun bertawakkal pada-Nya. Tawakkal inilah yang menjadi sebab keluar dari kesempitan yang ada. Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang bertawakkal pada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)”[7]
Butuh Adanya Kesabaran
Setelah kita mengetahui berita gembira bagi orang yang mendapat
kesulitan dan kesempitan yaitu akan semakin dekat datangnya kemudahan,
maka sikap yang wajib kita miliki ketika itu adalah bersabar dan terus bersabar.
Artinya, ketika sulit, hati dan lisan tidak berkeluh kesah, begitu pula
anggota badan menahan diri dari perilaku emosional seperti menampar
pipi dan merobek baju sebagai tanda tidak ridho dengan ketentuan Allah.[8]
Sabar menanti adanya kelapangan adalah solusi paling ampuh dalam
menghadapi masalah, bukan dengan mengeluh dan berkeluh kesah. Imam Asy
Syafi’i pernah berkata dalam bait syair,
صَبرا جَميلا ما أقرَبَ الفَرجا ... مَن رَاقَب الله في الأمور نَجَا ...
مَن صَدَق الله لَم يَنَلْه أذَى ... وَمَن رَجَاه يَكون حَيثُ رَجَا ...
Bersabarlah yang baik, maka niscaya kelapangan itu begitu dekat.
Barangsiapa yang mendekatkan diri pada Allah untuk lepas dari kesulitan, maka ia pasti akan selamat.
Barangsiapa yang begitu yakin dengan Allah, maka ia pasti tidak merasakan penderitaan.
Barangsiapa yang selalu berharap pada-Nya, maka Allah pasti akan memberi pertolongan.[9]
Dalam syair Arab dikatakan, “Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, namun akhirnya lebih manis daripada madu.”
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita meraih kelapangan dari kesempitan yang ada. Haruslah kita yakin badai pasti berlalu: “After a storm comes a calm”. Hanya Allah yang memberi taufik.
Artikel Majalah Pengusaha Muslim edisi Juli 2010, dipublish ulang oleh syifor98.blogspot.com
[1] Keterangan Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/392, Muassasah Qurthubah.
[2]
Riwayat-riwayat ini adalah riwayat mursal, dikeluarkan oleh Ibnu Jarir
Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 24/496, Dar
Hijr. Riwayat mursal adalah riwayat yang terputus sanadnya pada akhir
sanad, yaitu setelah tabi’in. Riwayat ini dho’if (lemah) sebagaimana
dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Dho’iful Jaami’ no. 4784.
[3] Dikeluarkan oleh Ath Thobari, 24/496.
[4] Lihat Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 1/15, Mawqi’ Ya’sub dan Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 25/477, Darul Fikr.
[5] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/42.
[6] Dikeluarkan oleh Ath Thobari, 24/497.
[7] Jaami’ul wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 238, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[8]
Lihat ‘Uddatush Shobirin wa Zakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, hal. 10, Dar At Turots, cetakan pertama, tahun 1410 H.
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/ 392.