
بسم الله الرحمن الرحيم
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Hidup  di dunia ini tidaklah selamanya. Akan datang masanya kita berpisah  dengan dunia berikut isinya. Perpisahan itu terjadi saat kematian  menjemput, tanpa ada seorang pun yang dapat menghindar darinya. Karena Ar-Rahman telah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap  yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan  kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada  Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
 “Di  mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun  kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa`: 78)
Kematian  akan menyapa siapa pun, baik ia seorang yang shalih atau durhaka,  seorang yang turun ke medan perang ataupun duduk diam di rumahnya,  seorang yang menginginkan negeri akhirat yang kekal ataupun ingin dunia  yang fana, seorang yang bersemangat meraih kebaikan ataupun yang lalai  dan malas-malasan. Semuanya akan menemui kematian bila telah sampai  ajalnya, karena memang:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
“Seluruh yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” (Ar-Rahman: 26)
Mengingat mati akan melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberikan hasungan untuk banyak mengingatnya. Beliau bersabda dalam  hadits yang disampaikan lewat shahabatnya yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)
Dalam hadits di atas ada beberapa faedah:
-  Disunnahkannya setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang sakit untuk  mengingat mati dengan hati dan lisannya, serta memperbanyak  mengingatnya hingga seakan-akan kematian di depan matanya. Karena  dengannya akan menghalangi dan menghentikan seseorang dari berbuat  maksiat serta dapat mendorong untuk beramal ketaatan.
- Mengingat mati di kala dalam kesempitan akan melapangkan hati seorang  hamba. Sebaliknya, ketika dalam kesenangan hidup, ia tidak akan lupa  diri dan mabuk kepayang. Dengan begitu ia selalu dalam keadaan bersiap  untuk “pergi.” (Bahjatun Nazhirin, 1/634)
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  di atas adalah ucapan yang singkat dan ringkas, “Perbanyaklah kalian  mengingat pemutus kelezatan (kematian).” Namun padanya terkumpul  peringatan dan sangat mengena sebagai nasihat, karena orang yang  benar-benar mengingat mati akan merasa tiada berartinya kelezatan dunia  yang sedang dihadapinya, sehingga menghalanginya untuk berangan-angan  meraih dunia di masa mendatang. Sebaliknya, ia akan bersikap zuhud  terhadap dunia. Namun bagi jiwa-jiwa yang keruh dan hati-hati yang  lalai, perlu mendapatkan nasihat panjang lebar dan kata-kata yang  panjang, walaupun sebenarnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”
disertai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,” sudah mencukupi bagi orang yang mendengar dan melihat.
Alangkah bagusnya ucapan orang yang berkata:
اذْكُرِ الْمَوْتَ تَجِدُ رَاحَةً، فِي إِذْكَارِ الْمَوْتِ تَقْصِيْرُ اْلأَمَلِ
“Ingatlah mati niscaya kau kan peroleh kelegaan, dengan mengingat mati akan pendeklah angan-angan.”
Adalah Yazid Ar-Raqasyi rahimahullahu  berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa  gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu?  Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan  keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”
Kemudian  ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan  meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai  orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang  tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi  temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang  besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga  jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)
Sungguh,  hanya orang-orang cerdas cendikialah yang banyak mengingat mati dan  menyiapkan bekal untuk mati. Shahabat yang mulia, putra dari shahabat  yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’ ‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang  yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk  kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata,  “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan  dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa  cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang  melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat,  tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka  berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput  kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya.  Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus  kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam,  mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan  perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)
Bayangkanlah  saat-saat sakaratul maut mendatangimu. Ayah yang penuh cinta berdiri di  sisimu. Ibu yang penuh kasih juga hadir. Demikian pula anak-anakmu yang  besar maupun yang kecil. Semua ada di sekitarmu. Mereka memandangimu  dengan pandangan kasih sayang dan penuh kasihan. Air mata mereka tak  henti mengalir membasahi wajah-wajah mereka. Hati mereka pun berselimut  duka. Mereka semua berharap dan berangan-angan, andai engkau bisa tetap  tinggal bersama mereka. Namun alangkah jauh dan mustahil ada seorang  makhluk yang dapat menambah umurmu atau mengembalikan ruhmu.  Sesungguhnya Dzat yang memberi kehidupan kepadamu, Dia jugalah yang  mencabut kehidupan tersebut. Milik-Nya lah apa yang Dia ambil dan apa  yang Dia berikan. Dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang  telah ditentukan.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata,  “Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia  terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia  ini hina baginya.”
Adalah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bila  mengingat mati ia gemetar seperti gemetarnya seekor burung. Ia  mengumpulkan para ulama, maka mereka saling mengingatkan akan kematian,  hari kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis hingga seakan-akan di  hadapan mereka ada jenazah. (At-Tadzkirah, hal. 9)
Tentunya tangis mereka diikuti oleh amal shalih setelahnya, berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala  dan bersegera kepada kebaikan. Beda halnya dengan keadaan kebanyakan  manusia pada hari ini. Mereka yakin adanya surga tapi tidak mau beramal  untuk meraihnya. Mereka juga yakin adanya neraka tapi mereka tidak  takut. Mereka tahu bahwa mereka akan mati, tapi mereka tidak  mempersiapkan bekal. Ibarat ungkapan penyair:
 Aku tahu aku kan mati namun aku tak takut
Hatiku keras bak sebongkah batu
Aku mencari dunia seakan-akan hidupku kekal
Seakan lupa kematian mengintai di belakang
Padahal, ketika kematian telah datang, tak ada seorangpun yang dapat mengelak dan menundanya.
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka  apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah  mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka  dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.” (Al-Munafiqun: 11)
Wahai  betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa  membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung  tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدْ
“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan, “Hisablah  diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih apa yang  telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari kebangkitan  dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)
Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.
وَأَنْفِقُوا  مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ  فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ  وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan  infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian  sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia  berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku  sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah  dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)
Karenanya, berbekallah! Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya! Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.